Sejarah Suku Karera

Orang Karera adalah kelompok sosial yang berdiam di bagian timur Kabupaten Sumba Timur di pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka berdiam di daerah lereng bukit yang terbilang gersang, yang ditumbuhi alang-alang. Masyarakat lain yang dekat atau bertetangga dengan orang Karera ialah orang Karera Jangga dan orang Katara. Bahasa yang dipakai ialah dialek Manggarikuna, salah satu dialek bahasa Sumba. Dialek-dialek bahasa Sumba lainnya adalah dialek Manggikua, Mangakina, Manggena, dan Mapeni.


Perkampungan orang Karera biasanya memiliki lapangan terbuka untuk tempat upacara, sebuah rumah adat yang didepannya terdapat beberapa batu megalit dan disekitarnya berdiri rumah-rumah orang kebanyakan. Rumah-rumah itu berupa rumah panggung yang tingginya sekitar satu meter dari permukaan tanah. Rumah adat tadi lebih besar dari permukaan tanah. Rumah adat tadi lebih besar dari rumah penduduk biasa. Atapnya melebar dibagian bawah dan di atasnya berbentuk kerucut. Bahan atapnya ialah anyaman ilalang.


Mata pencaharian pokok orang Karera adalah bercocok tanam di ladang dengan tanaman utama padi dan jagung, yang juga sebagai makanan pokoknya. Perladangan ini dikerjakan dengan sistem tebang bakar (slash and burn). Sisa-sisa pohon yang tak terbakar digunakan menjadi pagar, sebagai batas dengan ladang pemilik lain. Selain itu, mereka berburu babi hutan dan ada yang beternak babi. Mereka juga memelihara kerbau dan kuda, namun hewan ini tidak secara langsung mempunyai arti ekonomis. Kerbau dan kuda bisa berfungsi menjadi mas kawin, kerbau sendiri menjadi hewan korban dan kuda sebagai sarana transportasi. Kerbau digembalakan di padang rumput dan dikandangkan pada malam hari, sedangkan kuda ada yang dikandangkan dan ada yang dibiarkan berkeliaran di padang rumput.


Dalam kekerabatan mereka tergabung dalam klen patrilineal (merapu). Setiap klen itu dipimpin oleh seorang kepala adat yang disebut Kabisu. Ia dipilih secara turun-temurun di samping harus memenuhi persyaratan seperti bersifat jujur dan disegani oleh anggota kelompoknya. Kepala adat ini bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan adat, menyelesaikan sengketa adat perkawinan, dan lain-lain.


Masyarakat ini mengenal tiga lapisan sosial yaitu lapisan bangsawan (umbu), lapisan merdeka (kabinu); merupakan orang kebanyakan yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri, dan Lapisan hamba (ata) adalah orang-orang yang berbakti kepada golongan bangsawan tadi. Segala kebutuhannya ditanggung oleh bangsawan itu. Golongan hamba ini berasal dari orang-orang yang tidak mampu membayar hutang, kalah perang, atau orang yang dijatuhi hukuman untuk menjadi hamba.


Orang Karera percaya kepada roh-roh nenek moyang (merapu) yang berdiam di alam roh yang disebutnya Tanatara. Di sana, roh-roh itu hidup seperti manusia biasa sebagaimana terjadi di dunia. Roh itu mempunyai kekuatan untuk membantu atau sebaliknya mengganggu manusia yang masih hidup. Itulah sebabnya terhadap roh-roh nenek moyang itu harus diadakan upacara, agar roh itu membantu menyuburkan tanaman, memberi hasil yang baik, atau mendatangkan kesejahteraan. Sebaliknya roh itu akan menurunkan bencana bagi manusia kalau tidak diadakan upacara. Roh yang tidak sampai ke alam roh disebut hantu (sarangi).

Hantu inilah yang selalu berbuat jahat terhadap manusia, misalnya membuat sakit. Agar hantu ini tidak mengganggu, maka dibuatkan patung kayu yang bentuknya mirip manusia dan di depannya diberi sajian berupa bahan makanan dan buah-buahan. Pemujaan semacam ini dilakukan setahun sekali setelah usai panen dengan memotong hewan kerbau atau babi.


Upacara lain yang mengadakan korban kerbau adalah upacara kematian. Upacara tampak besar-besaran kalau yang meninggal itu dari kalangan kaum bangsawan tadi.


Bahasa Suku Karera

Bahasa yang dipakai ialah dialek Manggarikuna, salah satu dialek bahasa Sumba. Dialek-dialek bahasa Sumba lainnya ialah dialek Manggikua, Mangakina, Manggena dan Mapeni.


Mata Pencaharian Suku Karera

Mata pencaharian pokok orang Karera ialah bercocok tanam di ladang dengan tanaman utama padi dan jagung yang juga sebagian makanan pokoknya. Perladangan ini dikerjakan dengan sistem tebang bakar “slash and burn”. Sisa-sisa pohon yang tak terbakar digunakan menjadi pagar, sebagai batas dengan ladang pemilik lain.


Selain itu mereka berburu babi hutan dan ada yang beternak babi. Mereka juga memelihara kerbau dan kuda, namun hewan ini tidak secara langsung mempunyai arti ekonomis. Kerbau dan kuda bisa berfungsi menjadi mas kawin, kerbau sendiri menjadi hewan korban dan kuda sebagai sarana transportasi. Kerbau digembalakan di padang rumput dan dikandangkan pada malam hari, sedangkan kuda ada yang dikandangkan dan ada yang dibiarkan berkeliaran di padang rumput.


Cara Hidup Suku Karera

Suku Karera bertempat tinggal di kawasan lereng yang gersang, kering, dan banyak gulma, seperti ilalang. Karena mereka tinggal di daerah yang gersang, maka pencaharian utama warga Suku Karera adalah beternak. Suku Karera biasanya membagi tanah mereka dengan pembatas menggunakan pagar kayu atau batu, hal ini berguna agar hewan ternak mereka tidak masuk ke lahan tetangganya. Suku Karera biasanya memelihara kerbau dan kuda, kedua hewan ini juga terkadang diperuntukkan sebagai mahar pernikahan.


  • Sistem Sosial

Suku Karera tergabung dalam sistem klan yang cenderung patrilineal, atau mengutamakan garis keturunan ayah. Klan tersebut dipimpin oleh seorang kepala klan yang disebut kabisu. Selain sistem klan, Suku Karera juga mengenal sistem kelas sosial yang terdiri dari 3 lapisan, yakni; bangsawan (disebut umbu), rakyat biasa (disebut kabihu), dan hamba-sahaya (disebut ata).


  • Kepercayaan

Suku Karera masih mempercayai ajaran animisme, mereka menganggap nenek moyang mereka (disebut Merapu) sedang berdiam diri di sebuah tempat yang disebut Tanatara. Bagi Suku Karera, nenek moyang mereka hidup selayaknya di dunia di alam Tanatara. Menurut kepercayaan mereka, Merapu adalah roh yang membawa kebaikan yang melawan roh kejahatan yang bernama Sarangi.


  • Permukiman

Perkampungan Suku Karera biasaya terletak di sebuah lapangan atau tanah terbuka, hal ini berguna untuk tempat upacara. Sebuah rumah adat yang di depannya terdapat beberapa batu megalitik, dan disekitarnya berdiri rumah-rumah orang kebanyakan. Rumah-rumah itu berupa rumah panggung yang tingginya sekitar satu meter dari permukaan tanah.Rumah adat tadi lebih besar dari rumah penduduk biasa. Atapnya melebar di bagian bawah dan di atasnya berbentuk kerucut. Bahan atapnya ialah anyaman ilalang


Sistem Kekerabatan Suku Karera

Dalam kekerabatan mereka tergabung dalam klen patrilineal “merapu”, setiap klen itu dipimpin oleh seorang kepala adat yang disebut Kabisu. Ia dipilih secara turun-temurun di samping harus memenuhi persyaratan seperti bersifat jujur dan disegani oleh anggota kelompoknya. Kepala adat ini bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan adat, menyelesaikan sengketa adat perkawinan dan lain-lain.

Baca Juga :  1000+ Nama FF Keren Payung, Preman, Unik [No Pasaran] 2022

Masyarakat ini mengenal tiga lapisan sosial yaitu lapisan bangsawan “umbu”, lapisan merdeka “kabinu” merupakan orang kebanyakan yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri, dan lapisan hamba “ata” ialah orang-orang yang berbakti kepada golongan bangsawan tadi. Segala kebutuhannya ditanggung oleh bangsawan itu, golongan hamba ini berasal dari orang-orang yang tidak mampu membayar hutang, kalah perang atau orang yang dijatuhi hukuman untuk menjadi hamba.


Agama dan Kepercayaan Suku Karera

Orang Karera percaya kepada roh-roh nenek moyang “merapu” yang berdiam di alam roh yang disebutnya Tanatara. Di sana roh-roh itu hidup seperti manusia biasa sebagaimana terjadi di dunia. Roh itu mempunyai kekuatan untuk membantu atau sebaliknya mengganggu manusia yang masih hidup. Itulah sebabnya terhadap roh-roh nenek moyang itu harus diadakan upacara agar roh itu membantu menyuburkan tanaman, memberi hasil yang baik atau mendatangkan kesejahteraan.


Sebaliknya roah itu akan menurunkan bencana bagi manusia kalau tidak diadakan upacara. Roh yang tidak sampai ke alam roh disebut hantu “sarangi”. Hantu inilah yang selalu berbuat jahat terhadap manusia, misalnya membuat sakit. Agar hantu ini tidak mengganggu, maka dibuatkan patung kayu yang bentuknya mirip manusia dan di depannya diberi sajian berupa bahan makanan dan buah-buahan. Pemujaan semacam ini dilakukan setahun sekali setelah usia panen dengan memotong hewan kerbau atau babi. Upacara lain yang mengadakan korban kerbau ialah upacara kematian, upacara tampak besar-besaran kalau yang meninggal itu dari kalangan kaum bangsawan tadi.