Sejarah Suku Baduy

Dalam hak ini orang kanekes atau orang Baduy merupakan suatu kelompok masyarakat adat sunda di wilayah kabupaten lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepadaa kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompk Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah “nomaden”.

Sejarah-Suku-Baduy

Kemungkinan lain ialah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang kenekes” sesuai dengan nama wilayah mereka atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo “Garna, 1993”.


Sejarah Suku Baduy

Urang Kanekes, Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten-Rangkasbitung, Banten,.


Berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C, Perkampungan masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.


Sebutan “Baduy” berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka.


Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Mereka mandiri, menolak bantuan luar, merajut, bertanam dan berpikir ke depan dengan otak jernih, jujur dan tulus. Tidak ada keributan sesama mereka di sana. Tak ada saling iri, dengki dan culas di tengah mereka.Suku Baduy adalah kelompok kehidupan yang begitu patuh pada adat, ritual dan agama yang mereka anut. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah Desa Ciboleger (jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang di sebut Jaro.


Penampilan fisik dan bahasa suku baduy mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya yang membedakan adalah sistem kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.


Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu :


  1. Kelompok tangtu

Kelompok ini yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah :

  • Pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.
  • Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.

Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

  • Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
  • Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu’un atau ketua adat)
  • Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
  • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.

  1. Kelompok Panamping

Mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas :

  • Mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
  • Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
  • Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
  • Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
  • Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
  • Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
  • Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan.

Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:

  • Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
  • Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
  • Menikah dengan anggota Kanekes Luar

  1. Kelompok Dangka

Kelompok Kanekes Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal dua kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.


Asal Usul Suku Baduy

Asal-Usul-Suku-Baduy

Untuk hal ini menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik “mandita” untuk menjaga harmoni dunia.


Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yanag mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai “Tatar Sunda” yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran “sekitara Bogor sekarang” sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda.


Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar, Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu dan ramai digunakan untuk mengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut yang disebut sebagai Pangeran Pucuk umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.


Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wialayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut “Adimihardja, 2000”. Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin ialah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-mush Pejajaran.


Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy ialah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar “Garna, 1993b:146”. Orang Baduy sendiri pun menolaj jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pejajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.


Menurut Danasasmita dan Djatisunda “1986: 4-5” orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala “kawasan suci” secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kebuyutan “tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang”, bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau “Sunda Asli” atau Sunda Wiwitan “Wiwitan=asli, asal, pokok, jati”. Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.


Agam dan Kepercayaan Suku Baduy

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme). Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di kemudian hari ajaran Islam.


Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apa pun”, atau perubahan sesedikit mungkin.


Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.


Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.

(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)


Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang.


Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Sistem kepercayaan yang dianut Mayoritas suku Baduy mengakui kepercayaan sunda wiwitan yang meyakini akan adanya Allah sebagai Guriang Mangtua dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kewajiban dalam kepercayaan Ada 5 Upacara penting yaitu :

  1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
  2. Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran.
  3. Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat baduy.
  4. Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran.
  5. Upacara Kelahiran yang dilakukan suku Baduy melalui urutan kegiatan yaitu:
    • Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
    • Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
    • Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau    selametan.
    • Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
    • Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.

Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam. Suku baduy memiliki keunikan, yaitu :


1. Gotong royong masih menjadi kegemaran yang terus dilestarikan

Jika mungkin sifat gotong royong lama kelamaan telah hilang tergerus oleh perkembangan zama, namun hal ini tidak berlaku bagi masyarakat Suku Baduy Dalam. Sifat gotong royong selalu diterapkan oleh Suku Baduy Dalam pada saat mereka harus berpindah tempat dari satu wilayah ke wilayah lain yang lebih subur. Sebagai suku nomaden (tidak memiliki tempat tetap) dan menganut sistem ladang terbuka, membuat Suku Baduy Dalam hidup saling membantu. Kerukunann dan gotong royong masih sangat dijunjung tinggi oleh orang Baduy.


2. Kebahagiaan sederhana khas Suku Baduy Dalam

Suku Baduy Dalam memang masih belum dialiri listrik. Hal inilah yang menjadikan wilayah ini menjadi seolah ‘mati’ begitu malam hari tiba. Tidak banyak aktivitas yang bisa kita lakukan pada malam hari karena keterbatasan cahaya. Namun justru hal inilah yang akan membuat kita memperoleh pengalaman baru. Biasanya warga memainkan alat musik seperti kecapi untuk menemani malam mereka, sembari tak lupa mengobrol dan bertukar cerita dengan tetangga.


3. Hidup hemat ala Suku Baduy bisa kita lihat dari kegemaran orang orangnya berjalan kaki

Suku Baduy memang dikenal sebagai salah satu suku yang masih sangat memegang teguh ilmu ilmu leluhur. Salah satunya yakni adanya larangan menggunakan kendaraan seperti motor atau pun mobil. Namun hal tersebut tak lantas membuat Suku Baduy Dalam merasa terasing dari dunia luar. Dolaners akan dibuat kagum setelah mengetahui bahwa warga Suku Baduy Dalam selalu berjalan kaki apabila mengunjungi kerabatnya yang tinggal di kota besar untuk bertamu maupun berjualan hasil ladang dan kerajinan tangan khas Suku Baduy Dalam. Bahkan tak jarang mereka berjalan jauh sampai ke kota kota besar, tanpa rasa mengeluh sedikitpun.


4. Pu’un, seseorang yang diangap layaknya presiden di Kampung Baduy Dalam

Setiap suku yang tinggal di Indonesia pasti memiliki kepala adat yang berfungsi mengatur warganya. Begitu juga Suku Baduy Dalam yang memiliki kepala adat yang biasa dipanggil Pu’un. Pu’un adalah orang yang memiliki kelebihan yang berbeda dibanding warga biasa. Tugas dari Pu’un yaitu menentukan masa tanam dan panen. Menerapkan hukum adat kepada warganya, mengobati yang sakit. Pu’un sangat dihormati dan dianggap seperti seorang presiden orang masyarakat Suku Baduy Dalam. Oleh karenanya tidak sembarangan orang bisa bertemu dengan beliau, hanya orang orang yang berkepentingan khusus dan mendesak saja yang bisa bertemu dengan Pu’un.


5. Bentuk rumah tak mencermikan status sosial kekayaan Suku Baduy

Jika pada umumnya, seseorang yang memiliki rumah mewah dianggap sebagai orang kaya, berpangkat tinggi, dan dipandang banyak orang, namun hal ini tidak berlaku pada masyarakat Suku Baduy Dalam. Suku Baduy Dalam memiliki bentuk rumah yang hampir serupa satu sama lainnya. Pada peraturan Suku Baduy ini, yang membedakan status kekayaan mereka adalah tembikar yang dibuat dari kuningan yang disimpan di dalam rumah. Semakin banyak tembikar yang disimpan, menandakan status keluarga tersebut semakin tinggi dan dipandang orang.


6. Batang Bambu yang menjadi pengganti gelas

Pelarangan menggunakan gelas serta piring sebagai tempat untuk menyimpan air dan alas untuk makan tidak membuat Suku Baduy Dalam kehilangan akal. Dibekali sumber daya alam yang banyak, Suku Baduy Dalam membuat gelas serta tadah air minum yang terbuat dari bambu panjang. Dan justru dengan bambu panjang inilah aroma khas yang timbul secara alami semakin membuat minuman yang di seduh di dalamnya mengahsilkan cita rasa yang berbeda dan bahkan lebih lezat.


7. Hidangan olahan Ayam dianggap makanan mewah oleh masyarakat Baduy

Tidak seperti masyarakat pada umumnya yang biasanya menyediakan menu ayam pada setiap makanan yang disajikan, tidak begitu dengan Suku Baduy Dalam. Meskipun sebenarnya, pada saat kita berkunjung ke wilayah Suku Baduy, maka dengan gampangnya kita bisa menemukan ayam berkeliaran bebas di kampung, bukan berarti ayam bisa menjadi makanan sehari hari. Suku Baduy Dalam hanya menyantap hidangan ayam setidaknya 1 bulan sekali atau hanya pada saat upacara upacara besar, seperti pernikahan dan kelahiran. Hal ini karena hidangan olahan ayam dianggap makanan yang mewah dan istimewa disini.


8. Orang tua Suku Baduy Dalam yang punya cita-cita sederhana

Jika kebanyakan yang memiliki cita cita adalah kita yang masih memiliki masa depan yang panjang, alias masih belia. Namun hal yang unik bisa kita dapatkan ketika sedang mengunjungi kampung Baduy. Dimana, disini tak hanya kawula muda saja yang memiliki cita cita, namun para orang tua pun juga menyimpan cita cita. Cukup sederhana, mereka hanya ingin anak anak mereka kelak membantu berladang. Sangat sederhana jika didengar oleh telinga orang ‘modern’ seperti kita, namun justru di situlah kearifan lokal mereka sangat terasa.


9. Salah satu tradisi yang dianggap lumrah dan masih dilakukan, perjodohan

Perjodohan. Ya, kata tersebut nampaknya identik dengan zaman dahulu. Sebuah hal yang tidak lazim dilakukan pada zaman sekarang namun masih berlaku di Suku Baduy Dalam. Seorang gadis yang sudah berumur 14 tahun akan dijodohkan dengan laki laki yang berasal dari Suku Baduy Dalam. Selama masa penjodohan, orang tua dari laki laki Baduy Dalam bebas memilih wanita Baduy Dalam yang disukainya. Namun jika belum menemukan pilihan yang cocok, laki laki maupun perempuan harus menuruti pilihan sang orang tua ataupun pilihan yang diberikan oleh sang Pu’un.

Baca Juga :  Pengertian Psikotropika – Macam, Golongan, Dampak, Efek, Konvensi, Contoh, Para Ahli

10. Larangan berkunjung selama 3 bulan

Salah satu tradisi dari warga Baduy Dalam yang hingga kini masih terus dijalankan adalah tradisi Kawalu. Kawalu adalah puasa yang dijalankan oleh warga Baduy Dalam yang dirayakan tiga kali selama tiga bulan. Pada puasa ini warga Baduy Dalam berdoa kepada Tuhan agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. Pada saat tradisi Kawalu dijalankan, para wisatawan dilarang masuk ke dalam wilayah Baduy Dalam. Apabila ada kepentingan, biasanya wisatawan hanya diperbolehkan berkunjung sampai Baduy Luar dan itupun tidak diperbolehkan menginap.


Bahasa Suku Baduy

Bahasa yang mereka gunakan ialah Bahasa Sunda dialek Sunda-Banten, untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes “dalam” tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.


Mata Pencaharian Suku Baduy

Mata-Pencaharian-Suku-Baduy

Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan   menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.


Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.


Hasil pertanian mereka berupa beras biasanya mereka simpan di lumbung padinya yang ada di setiap desa. Selain beras meraka juga memabuat kerajinan tangan seperti tas koja  yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang di anyam. Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma dan berkebun, mengolah gula aren dan tenun. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.


Alat/Pekakas Suku Baduy

Sebagai berikut:


  • Golok/Bedog

Golok atau bedog menjadi atribut sehari-hari lelaki Baduy. Ada dua macam Golok yang dibuat dan digunakan oleh orang Baduy, yaitu golok polos dan golok pamor. Golok polos dibuat dengan proses yang biasa, menggunakan besi baja bekas per pegas kendaraan bermotor yang ditempa berulang-ulang. Golok ini digunakan oleh orang Baduy untuk menebang pohon, mengambil bambu, dan keperluan lainnya. Golok pamor memiliki urat-urat atau motif gambar yang menyerupai urat kayu dari pangkal hingga ujung golok pada kedua permukaannya. Proses pembuatannya lebih lama dan memerlukan pencampuran besi dan baja yang khusus. Kekuatan dan ketajaman golok pamor melebihi golok polos biasa, di samping memiliki kharisma tersendiri bagi yang menyandangnya.

Golok buatan orang Baduy-Dalam berbeda dengan buatan orang Baduy-Luar. Secara jelas perbedaannya terletak pada sarangka dan perah-nya, baik yang berpamor maupun tidak.


  • Kujang

Kujang-Suku-Baduy

Kujang adalah alat untuk keperluan bercocok tanam di huma, misalnya untuk nyacar, ngored, dan dibuat. Benda seperti ini di daerah Sunda yang lain sering dinamakan arit. Kujang dibuat dari bahan besi dan baja yang ditempa. Alat ini disebut kujang karena berbentuk mirip kujang sebagai senjata khas Pajajaran dan kini menjadi simbol daerah Jawa Barat.


Istilah kujang ditujukan untuk bentuk seperti kujang dengan bagian bawah (tangkai)nya seperti golok , dan alat ini banyak digunakan oleh orang Baduy Dalam. Sedangkan bagi orang Baduy Luar biasanya menggunakan istilah kored (alat untuk pekerjaan ngored/membersihkan rerumputan di huma).


  • Kapak Beliung

Baliung adalah alat untuk menebang pohon besar atau sebagai salah satu perkakas untuk membangun rumah. Di daerah lain disebut juga kapak. Gagangnya terbuat dari kayu yang agak panjang (30-35 cm). Tenaga dan daya tekan Baliung harus lebih besar daripada golok, dan karena itu dibuat dari besi baja yang lebih besar dan tebal pada bagian pangkal (yang tumpulnya).


  • Senjata

Ada dua kampung di Baduy Luar yang terkenal pembuatan perkakas tajam, yaitu kampung Batu Beulah dan Cisadane. Kedua kampung ini letaknya tidak berjauhan, dan berada di sebelah Selatan Baduy (Kanekes). Tukang membuat perkakas tajam ini dinamakan Panday Beusi. Yang dibuatnya antara lain Golok, Kujang, dan Baliung. Kampung yang sangat populer goloknya yaitu dari panday beusi Batu Beulah dan Cisadane. Sejak dahulu kedua kampung yang berdekatan ini sudah terkenal buatan goloknya yang sangat hebat (karena kekuatan, ketajaman, dan pamornya).


  • Lodong

Salah satu kegiatan wanita suku Baduy adalah mencari lahang untuk dijadikan gula aren. Setiap pagi mereka membawa lodong, gelonggong bambu sepanjang 1 meter, untuk menampung lahang (air nira) dari pohon aren yang tumbuh di sekitar kampung dan hutan.

Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dicetak menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. Dalam sehari setidaknya dia dapat membuat 40 tangkup gula aren. Setangkup gula aren yang dihasilkan dari dua keping tempurung dijualnya Rp 4.000.


Kesenian Suku Baduy

Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:

  1. Seni Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung (pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan).
  2. Alat musik (Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi)
  3. Seni Ukir Batik.

Angklung Buhun salah satu kesenian masyarakat Baduy yang pertaman kali lahir, kesenian Tradisonal ini berbau magis dan mempunyai unsure saklar. Angklung Buhun bukannya kesenian pagelaran yang setiap saat bisa ditonton, tetapi Angklung Buhun dipentaskan pada satu tahun sekali, dengan gaya dan versi yang sama. Semua ungkapan bertumpu pada pakem, yang dijadikan keharusan, disamping tembang, tari, dan tabuhannya harus bisa menyatu dengan seniman yang memainkannya.


Kesenian Angklung Buhun hadir bersama dengan orang Baduy, dan punya arti penting sebagai penyambung amanat, kepada para ahli waris untuk mempertahankan kelangsungan anak-keturunan Baduy. Unsure seninya sebagai daya tarik yang mampu menyentuh rasa, pementasan merupakan jembatan sebagai alat komunikasi dalam menyampaikan, ajakan, peringatan, laranagn, dan penerangan.             


Rendo Pengiring Pantun merupakan salah satu alat kesenian Tradisional masyarakat Baduy memberikan warna kehdupan budaya bervariasi, sebagai pembangkit rasa ingat para warga kepada amanat leluhurnya. Rendo hadir pada setahun sekali secara pasti, setelah selesai musim ngored, menjelang pohon padi mulai berbunga. Peristiwa ini merupakan waktu senggang yang digunakan untuk kesibukan membaca pantun,dalam membuka tabir sejarah perjalanan hidup leluhurnya.


Kegiatan mantun biasanya dipimpin oleh tokoh masyarakat, yang lebih mengetahui, serta bertanggung jawab untuk menyampaikan amanat. Mantun merupakan upacar kecil yang dilakukan dari rumah ke rumah, pada malam hari untuk lek-lekan sampai larut malam.


Adat Istiadat Suku Baduy

Adat-Istiadat-Suku-Baduy

1. Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy

Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.


Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.


Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari untuk dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. . Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.


Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja.


Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat – red) mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un.


Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin. Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.


2. Bulan Puasa Kawalu

Di saat Kawalu, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah mereka.Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang mereka sebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan Adapt. Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau selamatan – selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu.


Satu-satunya kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan amanah adat-nya.


3. Pernikahan

Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.


Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.


Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.