Politik etis atau politik balas budi adalah gagasan hasil protes dan kecaman warga Belanda terhadap sistem tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Gagasan ini lahir atas dasar rasa simpati, empati, dan kemanusiaan. Oleh karenanya sistem tanam paksa ini adalah contoh nyata eksploitasi yang sudah menuai kerugian besar bagi Indonesia, Belanda dianggap sudah berhutang banyak terhadap kekayaan bangsa Indonesia.
Melalui politik balas budi ini, diharapkan parlementer Belanda dapat membatu rakyat Indonesia agar dapat memiliki kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera.
Pengertian Politik Etis
Politik etis merupakan salah satu kebijakan Belanda pada masa penjajahan Indonesia yang berasal kata serapan dari bahasa Belanda, yakni Etische Politiek.
Kebijakan ini merupakan suatu pemikiran atau gagasan yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda wajib memakmurkan dan menyejahterakan penduduk tanah jajahannya.
Tanah jajahan yang dimaksud disini salah satunya adalah Hindia Belanda atau Indonesia.
Oleh karena itu, politik etis merupakan salah satu kebijakan Belanda yang bertujuan mulia dan memiliki dampak yang relatif positif terhadap bangsa Indonesia.
Latar Belakang Politik Etis
Tercatat di dalam sejarah jika negara Indonesia sudah dijajah pemerintah Belanda untuk 350 tahun lamanya. Selama masa penjajahan tersebut, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem tanam paksa.
Dalam sistem tanam paksa, rakyat Indonesia mengalami kerugian besar, baik berupa materiil maupun tenaga. Rakyat Indonesia merasakan penderitaan yang luar biasa akibat dari penindasan dan penekanan pemerintah kolonial.
Tanam paksa atau sistem kulvasi (Cultuurstelsel) merupakan suatu aturan yang mewajibkan setiap desa menyisihkan 20% sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, seperti kopi, tebu, teh, dan tarum.
Hasil panen tanaman tersebut nantinya dijual, yang mana harganya sudah ditetapkan oleh pemerintah kolonial.
Sementara, untuk warga yang tidak memiliki lahan pertanian atau perkebunan diwajibkan bekerja di perkebunan milik pemerintah selama 75 hari dalam setahun.
Aturan ini ditetapkan oleh gubernur jenderal bernama Johannes Van Den Bosch, pada tahun 1830.
Sistem tanam paksa ini mendapat banyak protes dan kecaman dari warga Belanda karena dianggap tidak berperikemanusiaan. Untuk menyelamatkan hak rakyat Indonesia, tahun 1890 tokoh politik yang bernama C. Th. van Deventer mengemukakan politik etis sebagai desakan golongan liberal kepada parlementer Belanda.
C. Th. Van Deventer merupakan seorang ahli hukum Belanda. Ia mengkisahkan perjuangan rakyat Indonesia yang hasilnya dinikmati oleh warga Belanda melalui tulisan di majalah De Gids yang berjudul Eeu Eereschuld (Hutang budi).
Gagasan van Deventer mendapat dukungan penuh dari Ratu Wilhelmina yang pernah menyebutkan dalam pidatonya di tahun 1901.
Dukungan Ratu Wilhelmina dibuktikan pula dengan terbitnya kebijakan baru yang berisi program-program untuk penduduk wilayah jajahan. Program yang dinamakan Trias van Deventer itu berisi 3 tujuan, yaitu Edukasi, Irigasi, dan Transmigrasi.
Pax Netherlandica
Pax Netherlandica merupakan salah satu kebijakan kolonial Belanda yang memiliki kaitan sangat erat dengan politik etis yang diterapkan pada zaman yang sama.
Kebijakan kolonial ini berupaya untuk mengubah penjajahan Belanda di Indonesia dari hanya murni monopoli dan perdagangan, menjadi pemerintahan seutuhnya.
Pax netherlandica pada dasarnya menginginkan seluruh wilayah Indonesia ada dalam cakupan pemerintahan kolonial Belanda. Bahkan, raja-raja lokal diharapkan dapat menjadi pejabat dalam sistem birokrasi pemerintahan Belanda.
Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi untuk memerintah Hindia Belanda dengan lebih efektif dan efisien, sehingga sangat berkaitan dengan politik etis.
Tokoh-Tokoh dalam Politik Etis
Dalam menjalankan politik etis, terdapat banyak tokoh-tokoh politisi Belanda dan juga Indonesia yang terlibat.
Berikut adalah beberapa tokoh yang terlibat dalam perumusan dan pelaksanaan politik etis di Indonesia
- Mr W.K Baron van Dedem
- Hendrik Hubertus van Kol
- Peter Brooschof
- Conrad Theodore Van Deventer
- Walter Baron van Hoevel
- Fransen van de Futte
- Torbeck
- Douwes Dekker (Multatuli)
Mr W.K Baron van Dedem berperan dalam menyampaikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan Belanda yang menyengsarakan pribumi di tanah jajahannya, termasuk Indonesia.
Beliau meminta agar finansial koloni Hindia Belnada dipisah dari keuangan negara Belanda. Selain itu, Dedem juga menuntut adanya desentralisasi kekuasaan kepada wilayah-wilayah koloninya.
Hendrik Hubertus van Kol juga melayangkan kritik senada dengan Van Dedem dimana kebijakan yang sudah ada, justru merugikan penduduk negara kolonial.
Peter Brooschof, seorang jurnalis de Locomotief menyatakan bahwa Belanda selama satu abad lebih sudah mengeruk keuntungan dari tanah Nusantara tanpa penduduk pribuminya mendapatkan keuntungan sepeserpun.
Kebijakan-kebijakan seperti tanam paksa, pelayaran hongi, dan monopoli lainnya telah menyengsarakan masyarakat Indonesia.
Conrad Theodore van Deventer juga menyatakan kritikannya terhadap Belanda melalui artikelnya yaitu Een Ereschuld atau Hutang Kehormatan yang dimuat dalam majalah De Gids.
Artikel itu menyebutkan bahwa dalam kurun waktu penguasaan belanda terhadap Indonesia, sudah banyak sekali keuntungan yang diambil. Oleh karena itu, sudah sewajarnya Belanda membalas budi dengan mensejahterakan koloni-koloninya.
Eduard Douwes Dekker juga melayangkan kritikan senada, dengan menggunakan nama samaran Multatuli, beliau membuat buku berjudul Max Havelaar of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij yang artinya adalah Max Havelaar atau lelang kopi perusahaan dagang belanda.
Buku ini merupakan salah satu karya sastra yang melayangkan kritik tajam dan mengungkap kejamnya praktik-praktik Belanda dalam mengeruk keuntungan dari tanah jajahannya.
Max Havelaar berhasil mengubah persepsi masyarakat Belanda terhadap kebijakan kolonialnya dan membantu menekan para pejabat koloni untuk mengimplementasikan politik balas budi terhadap bangsa Indonesia.
Tujuan dan Isi Politik Etis
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, politik etis bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Pada saat itu, Belanda menganggap dirinya telah berhutang budi banyak pada bangsa Indonesia. Terutama karena rempah, kopi, dan sumber daya alamnya telah memperkaya Belanda dan membantunya bertransformasi menjadi negara besar di Eropa.
Hal ini penting mengingat bangsa Belanda pada saat itu dikuasai oleh kaum progresif yang menginginkan keadilan dan kesejahteraan, bahkan untuk para pribumi di wilayah-wilayah kolonial Belanda.
Namun, begitu banyak aspek yang perlu dibenahi untuk dapat mencapai tujuan kesejahteraan penduduk pribumi di tanah jajahannya.
Melalui program politik etis, parlementer Belanda melaksanakan misi balas budi kepada bangsa Indonesia dengan memprioritaskan 3 bidang , yaitu edukasi, irigasi, dan transmigrasi.
Edukasi (Pendidikan)
Dalam bidang edukasi, parlementer Belanda wajib memberikan kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
Hal tersebut dilakukan agar rakyat Indonesia dapat memiliki kemampuan dan pengetahuan sebagai modal untuk kemajuan bangsa dan negara.
Berdasarkan golongan dan status sosial, parlementer Belanda membagi sekolah menjadi 2 kelas. Kelas 1 ini untuk anak-anak PNS serta orang-orang dengan kekayaan atau kedudukan. Sementara, kelas dua diperuntukkan kepada anak-anak pribumi golongan bawah.
Keseriusan Belanda untuk meningkatkan tingkat pendidikan rakyat Indonesia terbukti di tahun 1901 sudah tersedia 14 sekolah di Ibukota Keresidenan dan 29 sekolah di Ibukota Afdeling.
Kemudian, di tahun 1903 parlementer Belanda berhasil membangun 571 sekolah yang tersebar di Jawa dan Madura, yang mana terdiri dari 245 sekolah negeri dan 326 sekolah swasta.
Sekolah pada jaman itu memberikan pelajaran kemampuan dasar, seperti membaca, menulis, berhitung, ilmu pengetahuan alam, ilmu bumi, ilmu sejarah, ilmu kedokteran, dan seni.
Berikut ini adalah daftar tingkatan sekolah yang tersedia di masa itu :
- Hollandsch Indlandsche School setara dengan Sekolah Dasar
- Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs setara dengan Sekolah Menengah Pertama
- Algemeene Middlebare School setara dengan Sekolah Menengah Atas
- Kweek School, dikenal juga dengan Sekolah Guru khusus. Di mana sekolah ini diperuntukkan kaum Bumiputera
Di bawah ini adalah beberapa contoh perguruan tinggi yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda :
- Technical Hoges School yang merupakan sekolah tinggi teknik yang kini dikenal dengan IPB atau Institut Pertanian Bogor
- Technische Hoogere School (THS) atau sekolah tinggi teknik yang kini dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB)
- Opleiding Van Indische Artsen / sekolah kedokteran
- Rechts Hoogere School. Sekolah tinggi hukum
Selain untuk meningkatkan kompetensi dan juga produktivitas bangsa Indonesia, pemerintah Belanda merasa bahwa pendidikan sangat penting agar nanti Indonesia dapat memerintah dirinya sendiri serta menjalankan perekonomian yang maju dan produktif.
Irigasi (Pengairan)
Tidak hanya di bidang edukasi, program politik etis juga menyentuh bidang pertanian, terutama pada bidang pembangunan infrastruktur pengairan dan pendukung lainnya.
Dari pembangunan pengairan ini, parlementer Belanda pun menunjukkan kepedulian mereka pada bahan pangan juga mata pencaharian petani.
Tujuan program ini yakni supaya kuantitas serta kualitas produk pertanian bisa meningkat. Dengan produktivitas pertanian yang meningkat, harapannya kesejahteraan masyarakat Indonesia dapat meningkat pula dan komoditas ekspor yang dijual oleh Belanda pun dapat meningkat jumlahnya.
Di tahun 1885, di daerah Demak Berantas telah dibangun irigasi seluas 67.200 hektar. Di tahun 1902, prasarana irigasi tersebut mengalami perluasan menjadi 121.000 hektar.
Hingga saat ini, masih banyak infrastruktur irigasi pemerintah Belanda yang bermanfaat dan digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk kepentingan sosial dan ekonominya.
Transmigrasi (Perpindahan penduduk)
Transmigrasi adalah salah satu upaya pemerataan jumlah penduduk dan mengatasi kepadatan penduduk dengan mendorong adanya perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke pulau lain yang masih sedikit penghuninya.
Hal tersebut bertujuan agar daerah lain di luar Pulau Jawa dapat memiliki potensi yang sama dengan Pulau Jawa dan dapat berkembang dengan adanya sumber daya manusia yang memadai.
Selain itu, transmigrasi ini juga akan membawa dampak yang positif bagi penduduk, yaitu dengan terbuka luasnya lapangan pekerjaan, sehingga meningkatkan pendapatan penduduk.
Dalam kurun waktu 35 tahun (1865-1900), jumlah penduduk di Pulau Jawa dan Madura mengalami peningkatan hingga dua kali lipat, yang semula terdapat 14 juta jiwa menjadi 28 juta jiwa.
Oleh karena itu, dilakukan migrasi pada sebagian penduduk Pulau Jawa ke Pulau Sumatera, yang pada saat itu kekurangan sumber daya manusia untuk pengelolaan perkebunan.
Penyimpangan Pelaksanaan Politik Etis
Politik etis merupakan gagasan yang sangat mulia dari pihak Belanda, namun, dalam keberjalanannya, terdapat banyak penyimpangan dan juga penyelewengan kekuasaan.
Pada program irigasi, terjadi penyimpangan dimana tanah-tanah yang dibangunkan irigasi hanya tanah yang subur dan dimiliki oleh perkebunan swasta milik Belanda.
Perkebunan dan lahan pertanian rakyat tidak diprioritaskan dalam pembuatan saluran irigasi dan infrastruktur penunjang lainnya.
Oleh karena itu, terjadi ketimpangan produktivitas pertanian dan program irigasi ini gagal untuk meningkatkan secara signifikan produktivitas perkebunan rakyat Indonesia.
Pada program emigrasi dan transmigrasi penduduk, terjadi penyimpangan pada pemilihan lokasi-lokasi target transmigrasi di luar pulau Jawa. Daerah yang dipilih adalah kawasan-kawasan yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan Belanda.
Disini, masyarakat yang ditransmigrasikan difungsikan sebagai tenaga kerja dan juga buruh kasar untuk menjalankan aktivitas perkebunan, terutama di daerah Sumatera.
Program pendidikan juga sedikit menyimpang dan hanya berfokus pada golongan kaya, pejabat, ataupun kelas elit lainnya yang punya hubungan khusus dengan pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Alih-alih memeratakan pendidikan dan juga meningkatakn taraf hidup masyarakat, program pendidikan ini bertujuan utama untuk menghasilkan tenaga administrasi yang murah dan terampil untuk menjalankan Hindia Belanda atas nama Belanda.
Meskipun berhasil meningkatkan pendidikan di Indonesia, pendidikan ini juga menyebabkan kesenjangan yang sangat tinggi antara golongan yang bisa mengenyam pendidikan dengan yang tidak.
Dampak Politik Etis
Tidak dapat dipungkiri bahwa politik etis merupakan awal kemajuan bangsa Indonesia.
Program yang dicanangkan dalam kebijakan tersebut sangat mempengaruhi perubahan di Indonesia, baik dari aspek pendidikan, sosial, ekonomi, dan juga politik.
Secara umum, terdapat dampak yang bersifat positif dan juga negatif dari kebijakan politik etis ini.
Dampak Positif Politik Etis
Dampak positif dari politik etis adalah peningkatan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia dan juga peningkatan taraf ekonomi masyarakat karena didukung oleh infrastruktur yang mumpuni.
Secara umum, berikut ini adalah dampak positif dari politik etis
- Meningkatnya taraf pendidikan
- Munculnya golongan terpelajar atau priyai berkat sekolah-sekolah Belanda
- Peningkatan produktivitas masyarakat Indonesia
- Dibangunnya sarana dan prasarana pendukung ekonomi di Indonesia
- Meningkatnya kesejahteraan hidup dan perekonomian bangsa Indonesia
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh parlementer Belanda memberikan bukti nyata kemajuan Indonesia berupa lahirnya tokoh-tokoh cendekiawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pendirian sekolah-sekolah tersebut pun tidak lepas dari kebutuhan Belanda akan sumber daya manusia di bidang medis dan militer, serta pegawai sipil.
Selain itu, program politik balas budi dalam bidang edukasi juga mampu mengurangi jumlah penderita buta huruf di Indonesia.
Dalam bidang irigasi, dapat dirasakan oleh para petani Indonesia yang dapat memperoleh hasil panen jauh lebih banyak kuantitasnya dibanding dengan sebelumnya.
Tentu ini adalah dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Sama halnya terjadi pada transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, dimana pemerataan penduduk tersebut mampu memperbaiki kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dampak Negatif Politik Etis
Selain dampak positif, dampak negatif pun juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia akibat politik etis ini, seperti adanya diskriminasi di bidang pendidikan.
Pada awalnya, pendidikan yang disediakan oleh Belanda bagi rakyat Indonesia sangatlah diskriminatif. Hanya golongan elit dan laki-laki yang diperkenankan menikmati bangku sekolah.
Disini, golongan miskin dan kaum perempuan tidak bisa mengakses pendidikan.
Dengan adanya diskriminasi ini, terjadi kesenjangan sosial dan ekonomi antara lapisan-lapisan masyarakat Indonesia. Selain itu, hanya segelintir kecil rakyat Indonesia saja yang bisa mengakses pendidikan.
Meskipun jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi sebelumnya, kondisi ini masih dianggap kurang ideal oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Namun, dengan perjuangan rakyat Indonesia beserta para pahlawannya, akhirnya kaum wanita mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan.
Seiring dengan berjalannya waktu, sekolah pun semakin banyak, sehingga pendidikan tidak hanya terbatas pada golongan kaya dan pejabat saja.
Demikian pembahasan mengenai politik etis. Semoga dapat menambah wawasan dalam bidan perkembangan, perjuangan, dan sejarah di Indonesia.