Kota Tertua di Indonesia – Indonesia mempunyai sejarah panjang sebelum memperoleh kemerdekaan yang saat ini dapat dirasakan oleh masyarakat.
Kalian semua pastinya sudah tahu jika Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945 dan saat ini sudah berusia 77 tahun. Namun, jauh sebelum merdeka, berbagai wilayah dan daerah di Indonesia sudah sudah ada dan berdiri terlebih dahulu.
Salah satu fakta sejarah panjang itu adalah terbentuknya berbagai kota yang melalui pergantian nama. Salah satu contoh yang paling mudah diketahui adalah Kota Jakarta yang dahulu bernama Batavia.
Beberapa kota yang ada di Indonesia mempunyai usia yang jauh lebih tua dibandingkan Indonesia, bahkan berusia ribuan tahun dan menjadi pusat pemerintahan kerajaan pada masa lalu.
Daftar Kota Tertua di Indonesia
Berikut ini daftar 10 kota tertua yang ada di Indonesia. Apakah kota yang kalian tinggali termasuk salah satunya?
1. Kota Palembang
Kota Palembang merupakan ibu kota dari Provinsi Sumatra Selatan. Kota ini menjadi terbesar dan terpadat kedua di Sumatra setelah Kota Medan, serta kelima di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan.
Kota ini dan beberapa kabupaten di sekitarnya (Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten Banyuasin) ditingkatkan oleh pemerintah pusat sebagai kawasan metropolitan di Indonesia yang disebut dengan Palembang Raya atau Patungraya Agung.
Palembang pernah menjadi ibu kota kerajaan bahari Buddha terbesar di Asia Tenggara, yaitu Kedatuan Sriwijaya, yang menguasai Nusantara dan Semenanjung Malaya pada abad ke-9. Inilah yang menyebabkan kota ini juga dijuluki dengan “Bumi Sriwijaya”.
Bukti yang menunjukkan Palembang sebagai kota tertua di Indonesia adalah prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang. Prasasti ini menyatakan pembentukan suatu wanua yang ditafsirkan sebagai kota pada 16 Juni 683 Masehi. Palembang di dunia Barat juga dijuluki dengan Venice of the East atau Venesia dari Timur.
2. Kota Salatiga
Pada masa Hindu-Buddha, Salatiga telah menjadi daerah istimewa sebagaimana disebutkan di dalam prasasti Hampra atau prasasti Plumpungan.
Prasasti ini berangka tahun 672 Saka atau 750 Masehi dan ditulis dengan menggunakan huruf Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta. Menurut Kartoatmadja, candrasengkala di dalam prasasti tersebut menunjuk hari Jumat (Suk) rawâra tanggal 31 Asadha atau 24 Juli 750 Masehi.
Tanggal itu merupakan peresmian Desa Hampra atau Plumpungan menjadi suatu daerah perdikan. Berdasarkan prasasti tersebut, hari jadi Kota Salatiga lantas ditetapkan pada 24 Juli 750, yang dibakukan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kota Salatiga No. 15 tanggal 20 Juli 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga.
Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum mengenai suatu tanah swatantra atau perdikan bagi Desa Hampra yang berada di wilayah Trigramyama, yang diberikan oleh Raja Bhanu untuk kesejahteraan para rakyatnya.
Tanah perdikan juga dikenal dengan sebutan sima. Tanah tersebut biasanya akan diberikan oleh para raja kepada wilayah tertentu yang telah berjasa kepada kerajaan atau atas kehendak sendiri untuk didirikan bangunan suci keagamaan.
Selanjutnya, wilayah itu akan menjadi daerah otonom yang dibebaskan dari upeti dan pajak. Wilayah Hampra yang diberikan status sebagai daerah perdikan saat pembuatan prasasti tersebut adalah daerah Salatiga sekarang.
Untuk mengabadikan keputusan itu, Raja Bhanu lantas menulis di dalam prasasti Plumpungan kalimat Srir Astu Swasti Prajabhyah yang berarti “semoga bahagia, selamatlah rakyat sekalian”.
Berdasarkan keterangan di prasasti Plumpungan, dapat diperkirakan jika wilayah Salatiga dahulu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram.
Namun demikian, Raja Bhanu yang disebutkan di dalam prasasti tersebut belum dapat diketahui keterkaitannya dengan Kerajaan Mataram, tetapi para pakar sejarah menyebutkan jika seseorang yang membangun bangunan suci adalah seorang bangsawan.
Informasi lain yang dicantumkan di dalam prasasti Plumpungan adalah adanya komunitas Buddha di wilayah Salatiga. Lebih dari itu, masyarakat Salatiga saat itu juga telah memahami organisasi kemasyarakatan dalam wujud kerajaan, meskipun daerah Salatiga bukanlah pusat kerajaan.
Nama Salatiga juga diprediksi berasal dari pengembangan nama dewi yang disebutkan di dalam prasasti Plumpungan, yaitu Siddhadewi. Siddhadewi lebih dikenal dengan nama Dewi Trisala. Nama Trisala lantas dilestarikan di daerah ini.
Lokasi itu dinamakan dengan Tri-Sala, yang berdasarkan kaidah hukum bahasa dapat berbalik menjadi Sala-tri atau Salatiga.
3. Kota Kediri
Pendirian Kota Kediri disebutkan di dalam prasasti Kwak yang ditemukan di Desa Ngabean, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah pada 1892. Prasasti ini berangka tahun 801 Saka atau tanggal 27 Juli 879 Masehi. Kediri merupakan kota tertua yang ada di Jawa Timur. Selain itu, Kediri juga dikenal dengan nama Kota Tahu Takwa.
Sementara itu, Kota Kediri ditetapkan berdiri sebagai pemerintahan daerah (kota) melalui UU. No. 16 Tahun 1950. Jika mengacu kepada undang-undang mengenai pembentukan Pemerintah Kota Kediri itu, saat ini Kediri memang baru berusia 72 tahun.
Kota ini mempunyai semboyan Djojo ing Bojo yang berarti “mengalahkan marabahaya”. Sampai saat ini, kota tersebut berkembang seiring dengan meningkatnya kualitas hidup dalam berbagai aspek, yaitu perdagangan, pendidikan, pariwisata, birokrasi pemerintahan, dan olahraga.
Industri rokok Gudang Garam yang berada di kota ini menjadi penopang sebagian besar perekonomian masyarakat Kediri, yang sekaligus menjadi salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia.
Sementara itu, berbagai pariwisata yang ada kota ini adalah Water Park Tirtayasa, Kolam Renang Pagora, Dermaga Jayabaya, Taman Sekartaji, dan Goa Selomangleng. Daerah yang berkembang menjadi pusat pertokoan terpadat di Kediri adalah area sepanjang Jalan Dhoho.
4. Kota Magelang
Magelang merupakan kota tertua keempat di Indonesia yang lahir pada 11 April 907 Masehi. Penentuan usia itu didasarkan dari keterangan Prasasti Gilikan, Prasasti Poh, dan Prasasti Mantyasih. Ketiga prasasti itu ditulis di atas lempengan tembaga.
Nama Magelang sendiri sebenarnya bertolak belakang dari berbagai sumber, yaitu cerita rakyat, legenda, dongeng, dan sebagainya.
Ada yang menganggap jika nama Magelang itu berasal dari kisah datangnya orang Keling (Kalingga) ke Jawa yang memakai hiasan gelang di hidungnya.
Kata gelang memperoleh awalan “ma-” yang menyatakan kata kerja “memakai” atau “menggunakan”, yang secara keseluruhan berarti “menggunakan gelang”. Jadi, Magelang memiliki pengertian sebagai wilayah yang didatangi oleh orang-orang yang menggunakan gelang.
Selain itu, ada juga yang berpendapat jika Magelang berasal dari kisah pengepungan yang dilakukan oleh prajurit Mataram terhadap Kiai Sepanjang secara temu gelang atau ketat berbentuk lingkaran. Ada juga yang menghubungkan nama Magelang itu dengan keadaan geografis daerah Kedu, yaitu cumlorot yang ternyata bermakna sama dengan kata gelang.
Begitulah Magelang, yang selanjutnya berkembang menjadi ibu kota Keresidenan Kedu dan juga pernah menjadi ibu kota Kabupaten Magelang.
Setelah masa kemerdekaan, kota tersebut menjadi kota praja dan kota madya. Pada era reformasi, seiring dengan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, penyebutan kota madya kemudian berganti menjadi kota.
5. Kota Banda Aceh
Kota Banda Aceh dibangun oleh Sultan Johan Syah pada 1205 M. Saat ini, kota tersebut telah berumur 813 tahun dan menjadi salah satu kota Islam tertua yang ada di Asia Tenggara. Kota ini juga mendapatkan peran penting dalam penyebaran Islam ke seluruh wilayah Indonesia. Inilah yang menyebabkannya juga disebut dengan Serambi Makkah.
Saat ini, Banda Aceh diarahkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) oleh pemerintah pusat sebagai sentra koleksi dan distribusi skala regional produksi perikanan, pariwisata, dan pertanian.
Selain itu, kota tersebut juga termasuk Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Bandar Aceh Darussalam (KAPET BAD). Potensi wisata yang ada di kota ini adalah wisata spiritual, wisata alam, wisata sejarah, wisata peringatan bencana tsunami, dan wisata jejak purbakala.
6. Kota Surabaya
Sejak awal berdirinya, Kota Surabaya mempunyai sejarah panjang yang berhubungan dengan nilai-nilai heroisme. Inilah yang menyebabkan Surabaya kental dengan nuansa nilai kepahlawanan.
Nilai kepahlawanan tersebut salah satunya terwujud dalam peristiwa pertempuran antara Raden Wijaya dengan Pasukan Mongol yang dipimpin oleh Kubilai Khan pada 1293. Pertempuran bersejarah tersebut lantas diabadikan sebagai tanggal berdirinya Kota Surabaya hingga saat ini, yaitu 31 Mei 1293.
Bukti sejarah yang memperlihatkan jika Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, yaitu prasasti Trowulan I yang berangka tahun 1358 Masehi. Prasasti itu menyebutkan jika Churabhaya (Surabaya) saat itu masih berupa desa di tepi sungai Brantas yang berfungsi sebagai tempat penyeberangan strategis sepanjang sungai Brantas.
Sementara itu, istilah Surabaya terdiri atas kata sura (berani) dan baya (bahaya), yang secara harfiah diartikan sebagai “berani menghadapi bahaya yang datang”. Surabaya akhirnya ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur pada 1926 dan berkembang begitu pesat menjadi kota modern terbesar kedua setelah Jakarta.
7. Kota Baubau
Kota Baubau adalah salah kota yang berada di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang memiliki julukan “bumi seribu benteng”. Baubau mendapatkan status kota pada 21 Juni 2001 berdasarkan UU. No. 13 Tahun 2001. Berdasarkan Perda tersebut, kota ini juga ditetapkan lahir pada 17 Oktober 1541.
8. Kota Ambon
Sejarah Kota Ambon diawali ketika orang-orang Portugis datang mendirikan benteng di pulau ini sebagai tempat beraktivitas dalam perdagangan dan penyebaran agama.
Saat itu, orang-orang Portugis sedang berada dalam konflik politik dengan para penguasa Kesultanan Ternate dan umat Islam yang berada di Pantai Utara Hitu. Orang Portugis pertama yang mendarat di Ambon adalah Francisco Serrao bersama delapan orang anak buah kapalnya pada 1512.
Ambon dalam perkembangannya dibentuk berdasarkan Surat Gubernur Provinsi Maluku tanggal 1 Mei 1951 No. 2056/1/Bg sebagai alat Pemerintahan Daerah Maluku Selatan, sembari menunggu pembentukan daerah daerah otonom di dalam daerah itu.
Pada akhirnya, Ambon dibentuk sebagai suatu wilayah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan setingkat dengan kota besar sebagaimana dimaksud dalam UU. No. 22 tahun 1948.
9. Kota Tegal
Kota Tegal awalnya adalah sebuah desa bernama Tetegual yang pada 1530 telah memperlihatkan kemajuannya, termasuk wilayah Kabupaten Pemalang yang mengakui Trah (Kerajaan) Pajang.
Nama Tetegual diberikan oleh seorang pedagang yang berasal dari Portugis, yaitu Tome Pires yang singgah di Pelabuhan Tegal pada 1500 –an. Kata Tetteghal mempunyai pengertian “tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian”.
Pembentukan Kota Tegal tidak dapat dilepaskan dari seorang tokoh bernama Ki Gede Sebayu. Namanya dikaitkan dengan trah Majapahit, dikarenakan ayahnya yang bernama Ki Gede Tepus Rumput (kelak bernama Pangeran Onje) merupakan keturunan dari Batara Katong Adipati Ponorogo, yang masih memiliki keterkaitan dengan keturunan Majapahit.
10. Kota Padang
Jika ingin mengetahui sejarah Kota Padang, kalian harus mengenal terlebih dahulu sejarah Minangkabau, yaitu kira-kira abad ke-15 pada masa Kerajaan Minangkabau dipimpin oleh Raja Adityawarman. Saat itu, Padang merupakan permukiman nelayan.
Berdasarkan tambo Minangkabau, Padang disebut dengan daerah rantau. Orang yang pertama kali datang berasal Kubung XIII Solok oleh Luhak Nan Tigo (Tanah Datar, Agam, dan Limo Puluh Kota). Padang menjadi daerah persinggahan sebelum bertolak ke Aceh. Sebelum abad ke-17, Padang tidak begitu penting bagi Kerajaan Minangkabau karena hanya dianggap sebagai daerah rantau.