Senjata Tradisional – Keris,Pengertian, Mandau, Golok, Aceh, Jawa, Madura : Merupakan suatu alat yang digunakan untuk melukasi, membunuh atau menghancurkan suatu benda. Senjata dapat digunakan untuk menyerang maupun untuk mempertahankan diri dan juga mengancam dan melindungi.
Pengertian Senjata Tradisional
Senjata merupakan suatu alat yang digunakan untuk melukasi, membunuh atau menghancurkan suatu benda. Senjata dapat digunakan untuk menyerang maupun untuk mempertahankan diri dan juga mengancam dan melindungi. Istilah tradisional berasal dari kata “tradisi” yang menunjuk kepada suatu lembaga, artefak, kebiasaan atau perilaku yang didasarkan pada tata aturan atau norma tertentu baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka secara singkat dapat dikatakan bahwa karya seni rupa tradisional ialah karya seni rupa yang bentuk dan cara pembuatannya nyaris tidak berubah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Senjata tradisional merupakan produk budaya yang lekat hubungannya dengan suatu masyarakat, selain digunakan berlindung dari serangan musuh, senjata tradisional juga digunakan dalam kegiatan berladang dan berburu. Lebih dari fungsinya senjata tradisional kini menjadi identitas suatu bangsa yang turut memperkaya khazanah kebudayaan nusantara.
Keris Senjata Tradisonal Jawa Tengah
Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah kerambit.
Sebilah keris Jawa (kanan) dengan sarung keris (warangka).
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan. Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005.
Mandau Senjata Tradisonal Suku Dayak
Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di Kalimantan. Mandau termasuk salah satu senjata tradisional Indonesia. Berbeda dengan arang, mandau memiliki ukiran – ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering juga dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau tembaga dengan maksud memperindah bilah mandau.
Menurut legenda, mandau berasal dari asal kata “MAn-Da-U” adalah nama seseorang yang datang ke pulau kalimantan yaitu dari suku kuno china “Namman” atau Barbar Selatan. Man Da U adalah nama seseorang yang pertama membuat bentuk senjata pedang yang menyerupai bentuk bilah pedang/parang mandau saat ini.
Kumpang adalah sarung bilah mandau. Kumpang terbuat dari kayu, dilapisi tanduk rusa, dan lazimnya dihias dengan ukiran. Pada kumpang mandau diberi tempuser undang, yaitu ikatan yang terbuat dari anyaman uei (rotan). Selain itu pada kumpang terikat pula semacam kantong yang terbuat dari kulit kayu berisi pisau penyerut dan kayu gading yang diyakini dapat menolak binatang buas. Mandau yang tersarungkan dalam kumpang biasanya diikatkan di pinggang dengan jalinan rotan.
Ambang adalah sebutan bagi mandau yang terbuat dari besi biasa. Sering dijadikan cinderamata. Orang awam atau orang yang tidak terbiasa melihat atau pun memegang mandau akan sulit untuk membedakan antara mandau dengan ambang karena jika dilihat secara kasat mata memang keduanya hampir sama. Tetapi, keduanya sangatlah berbeda.
Kujang Senjata Tradisonal Jawa barat
Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram. Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.
Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda.Beberapa peneliti[siapa? menyatakan bahwa istilah “kujang” berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit[butuh rujukan]. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406).
Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”. Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Rencong Senjata Tradisonal Aceh
Rencong (Bahasa Aceh : Rintjong) adalah senjata tradisional milik Suku Aceh. Rencong merupakan simbol identitas diri, keberanian, dan ketanguhan Suku Aceh. Menurut catatan sejarah, Rencong merupakan senjata tradisional yang digunakan di Kesultanan Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah yang merupakan Sultan Aceh yang pertama.
Kedudukan Rencong di Kesultanan Aceh sangatlah penting, Rencong selalu diselipkan di pinggang Sultan Aceh, selain itu para Ulee Balang dan masyarakat biasa juga menggunakan Rencong. Rencong emas milik Sultan Aceh dapat kita jumpai di Museum Sejarah Aceh, dari bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa Rencong memang sudah terlahir sejak masa Kesultanan Aceh namun pembuat pertamanya sampai saat ini belum diketahui. Dalam acara adat Kesultanan Aceh, Rencong biasanya digunakan saat acara pernikahan, Meugang, Peusijuk, Tung Dara Baro (Mengunduh Mantu), dan dalam setiap acara penting lainnya.
Rencong Kerajaan Aceh, terbuat dari emas dengan mata pisau berukir ayat suci Alquran. Saat ini Rencong emas milik Sultan Aceh tersimpan dengan sangat baik di Museum Negeri Aceh Rencong memiliki berbagai tingkatan, untuk Sultan terbuat dari emas yang berukirkan sekutip ayat-ayat suci Al-Qur’an, sedangkan Rencong lainnya biasanya terbuat dari perak, kuningan, besi putih, kayu dan gading.
Masyarakat Aceh menghubungkan kekuatan mistik dengan senjata Rencong. Rencong masih digunakan dan dipakai sebagai atribut busana di dalam setiap upacara-upacara adat Aceh. Masyarakat Aceh mempercayai bahwa bentuk dari Rencong mewakili simbol dari Bismillah dalam kepercayaan Agama Islam. Karena sejarah dan kepopuleran Rencong, maka masyarakat dunia menjuluki Aceh sebagai “Tanah Rencong” Saat ini Rencong telah diusulkan menjadi Warisan Karya Budaya Dunia UNESCO oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh.
Badik Senjata Tradisonal Suku Bugis
Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda, dengan panjang mencapai sekitar setengah meter. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor. Namun, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).
Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya. Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.
Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya.Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari.
Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu). Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung).
Clurit Senjata Tradisonal Madura
Clurit adalah alat pertanian yang berfungsi sebagai alat potong yang berbentuk melengkung menyerupai bulan sabit. Meskipun memiliki bentuk yang sama dengan arit/sabit, Clurit lebih mengacu pada senjata tajam sedangkan Arit atau Sabit cenderung bersifat sebagai alat pertanian.
Clurit merupakan senjata khas dari suku Madura Provinsi Jawa Timur digunakan sebagai senjata carok. Legenda senjata ini adalah senjata yang biasa digunakan oleh tokoh yang bernama Sakera yang kontra dengan dengan penjajah Belanda. Kini senjata clurit sering digunakan masyarakat Madura untuk carok. Sebelum digunakan clurit diisi dulu dengan asma’ / khodam dengan cara melafalkan do’a-do’a sebelum melakukan carok. Carok dan celurit tak bisa dipisahkan. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri ( kehormatan ). Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda.
Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu. Penyelesaian dengan cara carok pasti salah satu ada yang mati. Oleh karena itu walaupun salah satu khasanah budaya rakyat Indonesia, Pemerintah tetap menetapkan sebagai pelanggaran hukum.
Siwar Senjata Tradisional Sumatera Selatan
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Di daerah ini terdapat suatu senjata tradisional yang disebut sebagai siwar. Siwar atau sering juga disebut tumbak lado adalah suatu artefak yang berupa senjata tusuk genggam yang bentuknya menyerupai golok panjang dengan tajaman di salah satu sisi bilahnya. Senjata ini mempunyai kedudukan yang penting bagi seseorang, sehingga fungsinya tidak hanya sebagai alat untuk mempertahankan diri, melainkan juga sebagai benda keramat yang memiliki unsur kimpalan mekam atau kimpalan sawah (mempunyai kekuatan magis).
Siwar adalah senjata yang bahan bakunya terbuat dari besi yang proses pengerjaannya umumnya dibuat oleh pandai besi di pedapuran tempat membuat alat-alat dari besi. Pada umumnya siwar berukuran antara 15-30 cm (skin rambai ayam) dengan lebar badan hingga ke matanya antara 1½-2 cm. Sedangkan, sarung dan gagang siwar terbuat dari kayu yang keras tetapi ringan agar dapat dibawa atau digunakan dengan mudah. Gagang siwar yang biasanya berornamen bunga atau tumbuhan bentuknya mirip dengan senjata reuncong namun membesar di bagian ujungnya.
Skin sebagai hasil budaya anak negeri, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk skin yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
Skin Senjata Tradisional Daerah Sumatera Selatan
Skin yang sering juga disebut jembio, rambai ayam (berbentuk menyerupai ekor ayam) atau taji ayam, adalah suatu artefak yang berupa senjata tusuk genggam yang bentuknya meruncing dengan tajaman di salah satu sisi bilahnya Skin mempunyai kedudukan yang penting bagi seseorang, sehingga fungsinya tidak hanya sebagai senjata, melainkan juga sebagai benda keramat yang memiliki unsur kimpalan mekam atau kimpalan sawah (mempunyai kekuatan magis). Struktur Skin.
Skin adalah senjata yang bahan bakunya terbuat dari besi yang proses pengerjaannya dibuat oleh pandai besi di pedapuran tempat membuat alat-alat dari besi. Pada umumnya skin berukuran antara 25-30 cm (skin rambai ayam). Namun, ada pula skin yang lebih pendek berukuran antara 10-15 cm.
Skin berukuran pendek ini biasa disebut sebagai taji ayam karena bentuknya menyerupai taji seekor ayam jantan. Sarung skin dahulu terbuat dari kulit sapi atau kambing. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sarung skin saat ini banyak yang terbuat dari kulit sintetis yang pengerjaannya dilakukan oleh penjahit tas kulit. Sedangkan gagangnya terbuat dari kayu yang keras tetapi liat yang diukir sedemikian rupa sehingga memiliki nilai seni yang tinggi.
Skin sebagai hasil budaya anak negeri, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk skin yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah skin atau rambai ayam yang indah dan sarat makna.
Sumpit Senajata Tradisional Suku Dayak
Sumpit adalah senjata tradisional suku Dayak Kalimantan yang dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk berburu hewan atau burung di hutan. Berburu adalah kehidupan rutin suku Dayak dalam mencukupi kebutuhan makan sehari-hari.
Pada zaman penjajahan , serdadu Belanda yang bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit ( Tulup : Jawa ). Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru.
Penyebab yang membuat pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit yang beracun. Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek. Makanya, tak heran penjajah Belanda bilang, menghadapi prajurit Dayak itu seperti melawan hantu. Tanpa tahu keberadaan lawannya, tiba-tiba saja satu per satu serdadu Belanda terkapar, membuat sisa rekannya yang masih hidup lari terbirit-birit. Kalaupun sempat membalas dengan tembakan, dampak timah panas ternyata jauh tak seimbang dengan dahsyatnya anak sumpit beracun.
Tak sampai lima menit setelah tertancap anak sumpit pada bagian tubuh mana pun, para serdadu Belanda yang awalnya kejang-kajang akan tewas. Bahkan, bisa jadi dalam hitungan detik mereka sudah tak bernyawa. Sementara, jika prajurit Dayak tertembak dan bukan pada bagian yang penting, peluru tinggal dikeluarkan. Setelah dirawat beberapa minggu, mereka pun siap berperang kembali. Penguasaan medan yang dimiliki prajurit Dayak sebagai warga setempat tentu amat mendukung pergerakan mereka di hutan rimba.
Golok Senjata Tradisional Betawi
Golok merupakan jenis senjata tajam masyarakat Melayu yang paling umum ditemukan, walaupun dengan penamaan yang berlainan berdasarkan daerahnya. Sebagian besar masyarakat di pulau Jawa sepakat menamakan senjata tajam ini dengan golok.
Pada masyarakat Betawi keberadaan golok sangat dipengaruhi kebudayaan Jawa Barat yang melingkupinya. Perbedaan diantara keduanya dapat dilihat dari model bentuk dan penamaannya, sedangkan kualitas dari kedua daerah ini memiliki kesamaan mengingat kerucut dari sumber pande besi masyarakat Betawi mengacu pada tempat-tempat Jawa Barat, seperti Ciomas di Banten dan Cibatu di Sukabumi.
Golok Gobang, adalah golok yang berbahan tembaga, dengan bentuk yang pendek. Panjang tidak lebih dari panjang lengan (sekitar 30cm) dan diameter 7cm. Bentuk Golok Gobang yang pada ujung (rata) dan perut melengkung ke arah punggung golok, murni digunakan sebagai senjata bacok. Di Jawa Barat model Golok Gobang ini dinamakan Golok Candung.
Bentuk gagang pegangan umumnya tidak menggunakan motif ukiran hewan, hanya melengkung polos terbuat dari kayu rengas. Masyarakat Betawi tengah menyebutnya dengan istilah “Gagang Jantuk”. Bilah golok gobang polos tanpa pamor atau wafak yang umum dipakai sebagai golok para jawara, dengan diameter 6cm yang tampak lebih lebar dari golok lainnya.