Isi Perjanjian Salatiga : Latar Belakang, Isi, Pasca dan Dampak Perjanjian Salatiga

Isi Perjanjian Salatiga – Terdapat berbagai perjanjian bersejarah di Indonesia, salah satunya adalah perjanjian salatiga. Mengapa terjadi Perjanjian Salatiga? Apa isi dari Perjanjian Salatiga? Agar lebih memahaminya, kali ini kita akan membahas tentang sejarah perjanjian salatiga mulai latar belakang, pelaksanaan, isi, sesudah dan dampak perjanjian salatiga secara lengkap.

Pengertian Perjanjian Salatiga

Perjanjian Salatiga adalah perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga. Perjanjian ini adalah penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan yang mengakhiri

Dengan berat hati Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III melepaskan beberapa wilayahnya untuk Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa). Ngawen di wilayah Yogyakarta dan sebagian Surakarta menjadi kekuasaan Pangeran Sambernyawa.

Perjanjian Salatiga ditandatangani oleh Raden Mas Said, Sunan Paku Buwono III, VOC dan Sultan Hamengku Buwono I di sebuah gedung bernama Gedung Pakuwon yang terletak di Jalan Brigjen Sudiarto No. 1, Kota Salatiga. Lokasi perjanjian dipilih di wilayah Salatiga, yang merupakan daerah netral dan terletak di tengah-tengah wilayah tiga pihak yang bertikai.

Bangunan Pakuwon tempat perjanjian ditandatangani masih berdiri dan akan digunakan sebagai Kantor Walikota di Salatiga. Tujuan perjanjian salatiga adalah untuk menyelesaikan konflik pasca-kekuasaan yang berkontribusi pada akhir sejarah Kesultanan Mataram Islam, kehancuran yang sudah dimulai sejak akhir pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1645.

Sejak kematian Sultan Agung, Mataram telah menjadi ajang konflik perebutan kekuasaan para bangsawan yang masih menjadi anggota dinasti Mataram. Perjanjian Salatiga didasarkan pada sejarah Perjanjian Giyanti, yang dibagi menjadi dua oleh Kerajaan Mataram pada 13 Februari 1755. Perjanjian Giyanti menandai berakhirnya Mataram sebagai pemerintahan kerajaan yang independen.

Walaupun perjanjian tersebut bisa meredakan konflik dalam pemerintah, konsekuensinya membagi Mataram menjadi dua. Setengah wilayah bekas Kesultanan Mataram Islam berada di bawah wewenang Sunan Pakubuwono III, sedangkan setengah lainnya dipindahkan ke Pangeran Mangkubumi, yang mengangkat dirinya sendiri sebagai Raja Kesultanan Yogya dengan gelar Hamengkubuwono I.

Latar Belakang Perjanjian Salatiga

Satu orang dikeluarkan dari pembagian dua wilayah Mataram, yaitu Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Raden Mas Said dipanggil Pangeran Sambernyawa karena ia selalu membunuh musuh-musuhnya di setiap pertempuran. Dia sebenarnya masih berhubungan dengan Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I karena mereka adalah keturunan Amangkurat IV (1719 – 1726), raja keempat Kasunanan Kartasura, yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Islam Mataram. Raden Mas Said adalah duri di sisi Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I dan untuk VOC. Dia telah berperang melawan Belanda dan Mataram atau Kartasura sejak 1741, awalnya dengan Pangeran Mangkubumi, yang memiliki tujuan yang sama.

Sayangnya Mangkubumi kemudian berbalik melawan Raden Mas Said dan menyetujui Pakubuwono III dan VOC dalam perjanjian Giyanti. Kesepakatan itu akan membagi penduduk Mataram dan akan ditolak oleh Raden Mas Said. Karena itu, ia akhirnya menghadapi ketiga pihak dalam pemberontakannya. Ketika VOC mengusulkan untuk menyerah kepada salah satu dari dua raja, Pangeran Sambernyawa malah menekankan pembagian kekuasaan teritorial menjadi tiga.

Sementara VOC ingin mengamankan sumber daya keuangan dan posisinya di Jawa, perang tidak menghasilkan partai yang unggul. Ketiga pihak tidak dapat mengalahkan Pangeran Sambernyawa dan pangeran itu sendiri tidak dapat mengalahkan ketiganya pada saat yang bersamaan.

Solusi untuk mengakhiri perang melawan Jawa adalah perjanjian Salatiga. Surakarta dan Yogyakarta menyerahkan sebagian wilayah mereka kepada Pangeran Sambernyawa. Wilayah Ngawen di Yogyakarta dan bagian dari wilayah Surakarta menjadi wilayah Pangeran Sambernyawa. Perjanjian Salatiga memberi Pangeran Sambernyawa setengah dari wilayah Surakarta dengan 4.000 tanaman yang meliputi daerah Wonogiri dan Karanganyar. Namanya Mangkunegara I dan dia hanya berhak atas gelar pangeran duke karena wilayahnya hanya disebut sebagai kadipaten dan dia tidak berhak atas gelar Sunan atau Sultan.

Pada dasarnya, Perjanjian Salatiga adalah tanda pembentukan negara Mangkunegaran, yang dikendalikan oleh Raden Mas Said sebagai pangeran otonom, yang juga mengendalikan wilayah otonom, karena ia awalnya setuju untuk menjadi bagian dari Kasunanan Surakarta, menolak dan mendirikan wilayah otonomnya sendiri, yaitu Kadipaten Mangkunegaran.

Mangkunegaran, yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa, dikatakan sebagai penerus garis keturunan kerajaan Mataram lama dan sejarah kerajaan Mataram lama yang hilang melalui perjanjian Giyanti. Negara Mangkunegaran membangun kembali Mataram yang tersebar dengan menghidupkan kembali politik dan budaya Mataram, serta unsur-unsur kehidupan prajurit dari generasi ke generasi.

Menuju Pelaksanakan Perjanjian Salatiga

Pada saat Pangeran Mangkubumi memulai negosiasi damai dengan imbalan setengah kekuasaan Mataram melalui perjanjian Giyanti dan menjadi Sultan Hamengkubuwana I, Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) terus menolak. Mangkubumi, Sunan Paku Buwono III dan VOC. Pangeran Sambernyawa tidak mau menyerah pada salah satu atau semua dari mereka. Ketika VOC mengusulkan untuk menyerah kepada salah satu dari dua penguasa (Surakarta, Yogyakarta), Pangeran Sambernyawa bahkan memberi tekanan pada ketiganya sehingga Mataram dibagi menjadi tiga.

VOC ingin keluar dari semua kesulitan untuk mengamankan kantong keuangan mereka dan keberadaan mereka di Pulau Jawa sedangkan perang tidak menghasilkan pemenang yang lebih unggul dari empat angkatan bersenjata di Jawa. Iker Pangeran Sambernyawa juga tidak mampu mengalahkan mereka bertiga secara bersamaan.

Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 di Salatiga adalah solusi untuk situasi untuk mengakhiri perang melawan Jawa. Dengan enggan, Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III menyerahkan sebagian wilayah mereka kepada Pangeran Sambernyawa.

Pihak yang menandatangani perjanjian Salatiga adalah Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta dan VOC, Kesultanan Yogyakarta, diwakili oleh Patih Danureja. Perjanjian salatiga memberi Pangeran Sambernyawa setengah dari wilayah Surakarta (4.000 karya yang meliputi daerah Wonogiri dan Karanganyar sekarang menjadi penguasa kadipaten Mangkunegaran di wilayah Yogyakarta dan Ngawen, berjudul Mangkunegara I. Penguasa Mangkunegaran atau Sultan tidak memiliki mengklaim dan hanya berhak atas gelar Pangeran Duke.

Tempat penandatanganan perjanjian ini sekarang digunakan sebagai Kantor Walikota Kota Salatiga.

Isi Perjanjian Salatiga

Isi Perjanjian Salatiga menyebabkan Pangeran Sambernyawa menemukan setengah dari wilayah Surakarta (4.000 karya mencakup beberapa area, termasuk para penguasa Wonogiri dan Karanganyar). Akan tetapi, pihak berwenang di wilayah Mangkunegaran, tidak berhak atas gelar Sunan atau Sultan dan hanya untuk gelar Pangeran Adipati.

Isi Perjanjian Salatiga diantaranya yaitu:

Perjanjian Salatiga ditandatangani oleh empat kelompok, yaitu Kesultanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, VOC dan Pangeran Sambernyawa. Perjanjian ini terjadi pada 17 Maret 1757 di kota Salatiga.

Isi perjanjian Salatiga terdiri dari Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I, yang menyerahkan sebagian wilayah setelah diserahkan kepada Pangeran Sambernyawa. Wilayah ini terdiri dari setengah wilayah Surakarta (Kabwonogiri).

Pasca Perjanjian Salatiga

Sunan Pakubuwono III meninggal pada 1788 setelah perjanjian Salatiga dan digantikan oleh Pakubuwono IV, yang akrab dengan politik, intrik dan intimidasi. Dua tahun setelah kematian Pakubuwono III, Pakubuwono IV memulai strategi politik yang agresif pada musim semi 1790 dengan menunjuk saudaranya Arya Mataram ke Pangeran Mangkubumi. Hal tersebut menyebabkan HB I memprotes karena mereka percaya bahwa nama Mangkubumi adalah haknya.

Selanjutnya Pakubuwono IV juga memulai intrik dengan menolak Putra Mahkota Kesultanan Yogyakarta untuk mewarisi. Pada saat itu saya melihat peluang di Mangkunegara dan pada Mei 1790 menulis surat kepada gubernur Semarang, Yan Greeve, untuk mengumpulkan janji dari penduduk Surakarta, Frederik Christoffeel van Straaldorf, yang telah menjanjikan tahta kepada Mangkunegara I jika HB meninggal.

Perjanjian Salatiga diartikan sebagai solusi termudah untuk mengatasi situasi kacau di negara Mataram, dari mana semua pihak dapat memperoleh manfaat. Meskipun ketiga pihak semuanya mendapatkan bagian masing-masing wilayah, yang paling diuntungkan adalah VOC.

Baca Juga :  Zaman Perunggu: Pengertian, Sejarah, Ciri, dan Peninggalannya

Pada dasarnya, semua perjanjian pembagian Mataram adalah kontrak politik yang dimanfaatkan VOC dalam perselisihan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan setempat, termasuk Mataram, untuk kontrol total seluruh pulau Jawa. Pergerakan tiga kerajaan diawasi oleh Belanda yang juga memiliki pengaruh yang sangat kuat pada masalah internal seperti suksesi dan politik.

Wilayah ketiga kerajaan tidak terpengaruh oleh VOC, tapi seluruh bagian barat Jawa dan pantai utara Jawa hingga ujung timur dikuasai oleh VOC. Sedangkan, ketiga kerajaan terlalu sibuk dengan urusan internal mereka, sehingga mereka tidak pernah berpikir untuk menyatukan kembali Jawa, seperti yang dicoba oleh raja sebelumnya.

Bisa dikatakan bahwa para penguasa sering memasukkan VOC dalam konflik internal mereka untuk memberikan kesempatan bagi VOC untuk ikut campur. Akibatnya, Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga memastikan pembagian kerajaan terbesar di Jawa menjadi tiga bagian.

Penyatuan kekuasaan di Jawa menjadi semakin sulit dengan kehadiran wilayah keempat, Kadipaten Pakualaman, pada 17 Maret 1813 dalam waktu 56 tahun sejak penandatanganan Perjanjian Salatiga. Status Pakualaman hampir mirip dengan Mangkunegaran dan merupakan bagian dari Kesultanan Yogyakarta, yang dipimpin oleh Pakualam I atau Pangeran Notokusumo, salah satu putra Hamengkubuwono I.

Pembagian wilayah Mataram Islam menjadi empat bagian merupakan akhir kejayaan Kerajaan Mataram, yang dihancurkan sendirian karena intrik dan konflik di antara para anggotanya. Hal ini juga menunjukkan betapa berhasilnya Belanda meluncurkan kebijakan devide-et-impera atau kebijakan pembagian, yang dengannya mereka telah membuka jalan untuk menguasai seluruh negara Jawa, dan betapa mudahnya bangsa kita dalam perangkap politik memerangi domba terjebak, yang menyebabkan kehancuran kerajaan terbesar di Jawa.

Dampak Perjanjian Salatiga

Setelah kematian Pakubuwono III dan digantikan oleh Pakubuwono IV. Pada tahun 1788, kebijakan agresif muncul kembali. Pakubuwono membagikan namanya dengan saudaranya Arya Mataram dengan nama Pangeran Mangkubumi. Hal tersebut memicu protes dari Sultan Hamengkubuwono I yang meyakini nama tersebut namanya hingga ia meninggal. Gangguan ini kemudian diteruskan ke pemerintah Belanda, tapi tidak membuahkan hasil.

Strategi politik Pakubuwono diikuti oleh langkah selanjutnya yaitu penolakan Putra Mahkota Kesultanan Yogyakarta untuk mewarisi. Setelah Mangkunegara memperketat situasi politik lagi, saya membuat janji kepada pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dengan janji apabila Pangeran Mangkubumi, yang menjadi Hamengkubuwono, meninggal. Mangkunegara I diizinkan untuk mengambil posisi Kesultanan Yogyakarta. Setelah itu terjadi pertempuran di Gunung Kidul, dampaknya tidak lagi memenuhi tuntutan ini.