Perjanjian Bongaya: Sejarah dan 29 Poin Isi

Perjanjian Bongaya – Dalam mata pelajaran Sejarah Indonesia, Grameds tentunya sudah mempelajari bahwa sebelum Indonesia merdeka ada banyak kerajaan yang berdiri dan berkuasa di wilayah nusantara. Sebut saja Kerajaan Mataram, Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan lainnya.

Kerajaan-kerajaan tersebut bergerak melakukan perlawanan untuk mengusir penjajah. Salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan adalah melalui sebuah kesepakatan atau perjanjian perdamaian.

Salah satu perjanjian perdamaian untuk mengusir penjajah dari wilayah nusantara adalah Perjanjian Bongaya yang berisi pembagian kekuasaan wilayah Sulawesi Selatan dengan Kerajaan Gowa Tallo dengan VOC. Setelah perjanjian tersebut diteken, Kerajaan Gowa Tallo baru tersadar bahwa ternyata ada banyak isi perjanjian yang merugikan pihak kerajaan.

Dikarenakan pihak Kerajaan Gowa Tallo merasa isi perjanjian tersebut tidak adil, maka pihak kerajaan pun terus melakukan perlawanan. Tapi bagaimana sebenarnya sejarah, awal mula dari perjanjian ini? Simak lebih lanjut dalam artikel berikut.

Sejarah Perjanjian Bongaya

1. Pengertian Perjanjian Bongaya

Perjanjian Bongaya merupakan sebuah perjanjian perdamaian yang mengakhiri permasalahan atau konflik yang terjadi antara VOC dengan Kesultanan Makassar di Gowa.

Perjanjian ini kemudian diteken atau ditandatangani pada tanggal 18 November tahun 1667 di Bongaya antara Kesultanan Gowa yang diwakilkan oleh Sultan Hasanudin serta pihak VOC.

Menurut laporan dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kerajaan Gowa menjadi sentral bagi para pedagang baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri untuk melakukan kegiatan ekonomi. Berkat letak yang strategis dan kekayaan sumber daya alam, Kerajaan Gowa merupakan salah satu kekuatan maritim yang kuat dan memegang dominasi.

2. Latar Belakang

Masa pemerintahan Sultan Hasanuddin menandai puncak dari perang yang dimulai dengan perlawanan Kerajaan Gowa terhadap Belanda. Kerajaan Gowa tidak mampu melawan pasukan Belanda yang memiliki senjata dan pasukan yang lebih banyak.

Oleh karena itu, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian Bongaya untuk mempersiapkan strategi dan pasukan perang. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di wilayah Bongaya.

Kedua belah pihak kemudian mengirimkan perwakilan mereka, yaitu Sultan Hasanuddin dari pihak Kerajaan Gowa dan Cornelis Speelman dari pihak Belanda, yang didukung oleh sekutunya Aru Palaka.

Perjanjian yang ditandatangani pada tempat yang disebut Bongaya ini bersifat sangat merugikan bagi Kerajaan Gowa dan sangat menguntungkan bagi VOC (United East India Company).

Menurut buku “Awal Mula Muslim di Bali” karya Bagenda Ali, latar belakang terjadinya Perjanjian Bongaya adalah karena adanya perang besar-besaran antara Kerajaan Gowa dan VOC (United East India Company).

Perlawanan Kerajaan Gowa terhadap Belanda mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, putra dari Sultan Muhammad Said dan cucu dari Sultan Alaudin, pada tahun 1653 hingga 1669 Masehi.

Selain Belanda, Sultan Hasanuddin juga harus menghadapi perlawanan dari Aru Palakka dari Soppeng-Bone pada tahun 1660. Akhirnya, Kerajaan Gowa tidak lagi mampu menghadapi pasukan Belanda yang dilengkapi dengan persenjataan canggih dan dibantu oleh pasukan tambahan dari Batavia. Oleh karena itu, dalam upaya mempersiapkan pasukan dan strategi perang, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian di wilayah Bongaya.

3. Sejarah Perjanjian Bongaya

Dua orang yang terkenal sebagai pembawa agama Islam ke Sulawesi Selatan adalah Dato’ ri Bandang dan Sulaiman. Pada tahun 1605 Masehi, mereka berhasil mengislamkan para pejabat tinggi kerajaan. Kraeng Matoaya, yang menjadi Raja Gowa, kemudian diangkat menjadi Raja Makasar dan setelah masuk Islam bergelar Sultan Alaudin. Ia memerintah pada tahun 1593 hingga 1639 Masehi.

Raja Tallo dinaikkan pangkat menjadi mangkubumi dengan gelar Sultan Abdullah. Kerajaan Makasar mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17, di bawah pemerintahan Sultan Malikussaid (ayah Sultan Hasanuddin), yang memerintah pada tahun 1639 hingga 1653 Masehi.

Dalam masa pemerintahan Sultan Malikussaid, Kerajaan Makasar menjadi negara maritim besar dan memiliki pengaruh hampir di seluruh wilayah timur Nusantara. Pada saat itu, agama Islam telah menjadi agama resmi pemerintah.

Oleh karena itu, hubungan antara ekspansi politik dan Islamisasi sangat penting dalam memahami konteks dan perkembangan yang terjadi di wilayah timur, terutama dalam upaya Kerajaan Gowa Tallo untuk melakukan ekspansi politik ke Kerajaan Bima pada abad ke-17.

Posisi Makasar sebagai sentral perdagangan dan pusat bisnis menjadi semakin penting, terutama dalam mengelola perdagangan bahan rempah-rempah dan beras. Pelabuhan Makassar tidak hanya dikunjungi oleh kapal-kapal dan pedagang dari wilayah Nusantara, tetapi juga dari Cina dan Eropa.

Pada abad ke-17, kerajaan-kerajaan Islam di pesisir utara Jawa mengalami penurunan dan runtuh satu per satu, yang membuat Kerajaan Gowa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berkembang menjadi sentral penyebaran agama Islam dan sentral perdagangan di kawasan timur Nusantara.

Baca Juga :  Masa Perundagian: Pengertian, Sejarah, dan Cirinya